JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen pada kuartal II 2017 masih positif. Namun ia mengungkapkan ada hal yang perlu diwaspadai.
"Ada hal yang harus kita perhatikan secara serius," ujarnya di Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menuturkan, hal yang perlu diwaspadai yaitu tingkat konsumsi rumah tangga yang tumbuh melambat pada kuartal II 2017.
Pada kuartal II 2017, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen. Padahal dari data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 5,07 persen pada kuartal II 2016 lalu.
Di dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB), kontribusi konsumsi rumah tangga merupakan yang tertinggi sumbangsihnya mencapai 55,6 persen.
Sisanya yaitu investasi 31,3 persen, ekspor 19,1 persen, konsumsi pemerintah 8,6 persen, sisanya yaitu konsumsi lembaga non profit dan impor.
"Kami tetap hati-hati karena konsumsi itu memberikan dampak paling besar terhadap sisi permintaan," kata perempuan yang kerap disapa Ani itu.
Pemerintah tutur Sri Mulyani akan mencermati tingkat inflasi. Sebab inflasi yang terkontrol bisa berdampak kepada daya beli masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah akan menyediakan "vitamin" agar konsumsi rumah tangga bisa naik di kuartal III 2017.
Salah satunya akselerasi program keluarga harapan dan penyaluran beras sejahtera untuk masyarakat miskin.
Sementara itu untuk mendorong konsumsi masyarakat kelas menengah atas dan investasi, pemerintah siap memberikan sejumlah insentif.
Di Luar Perkiraan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017 sebesar 5,01 persen tidak jelek. Namun ia mengakui hal itu tidak sesuai perkiraan pemerintah.
"Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi kita tidak jelek walaupun tidak sebagus yang diharapkan," kata dia.
Namun ia mengatakan tidak ada penurunan daya beli masyarakat. Darmin menuturkan turunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2017 lebih disebabkan masyarakat kelas menengah atas menahan belanja.
Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, keputusan masyarakat kelas menengah atas menahan belanja dipengaruhi sejumlah faktor diantaranya faktor psikologis menunggu kondisi ekonomi ke depan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, masyarakat kelas menengah atas menahan belanja justru karena tidak memilki kepercayaan penuh untuk melakukan pengeluaran.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Institute For Economic and Development Finance (Indef) Bima Yudhistira menilai, motif masyarakat kelas menengah atas menahan belanja memang lebih dipengaruhi faktor kehati-hatian.
Source
Berita Terkait
Komentar Anda