Oleh : Yusri Usman, Direktur Eksekutiv CERI)
Tepat jam nol nol tanggal 1 Januari tahun 2018 di kota Balikpapan, Direksi Pertamina menerima serah terima pengelolaan blok Mahakam setelah dikelola 50 tahun oleh perusahaan Total Indonesia dari Perancis telah diberitakan oleh berbagai media dengan sangat heroik bahwa ” perusahan Perancis menangis “, sungguh luar biasa.
Proses terminasi kontrak blok migas bukanlah hal baru, ini merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2004 dan Permen ESDM nmr 15 tahun 2015 adalah rangkaian setelah blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP) tahun 2002 dan blok Siak 2013 dari Chevron Riau serta Blok NSO dan Blok B dari Exxon Mobil Aceh tahun 2015.
Tetapi mereka mungkin lupa bahwa melihat sikap Pertamina “zaman old” yang awalnya akan menguasai 100 % saham di blok Mahakam dan akhirnya hanyalah merupakan angin sorga saja bagi rakyat Indonesia, padahal Kementerian ESDM telah memberikan hak 100 % sahamnya kepada Pertamina pada tahun 2015, kemudian oleh Elia Masa Manik dengan mekanisme ” b to b ” merubah kebijakan share down saham Pertamina dari 30 % akhirnya menjadi 39 % itulah Pertamina “zaman now”.
Tentu kebijakan Pertamina zaman now ini pantaslah dicurigai oleh publik bahwa ada ” anunya untuk si nganu dan kawan kawan Mafia serta kartel nya untuk 2019 ” , dan tentu model pengelolaan energi seperti ini dalam perspektif ketahanan energi nasional tidak akan ditemukan diberbagai negara lain, hanya dilakukan Pertamina zaman now.
Penilaian ini tentu didasari. Bahwa kita saat ini sudah krisis energi, karena volume impor minyak jauh lebih besar dari volume minyak yang dihasilkan oleh Pertamina ditambah minyak dan gas bagian negara di KKKS, dan asal tau saja Pertamina untuk memenuhi kebutuhan kilangnya sendiri lebih mudah dan murah membeli minyak mentah dari negara di timur tengah dan Afrika Barat nun jauh disana daripada membeli minyak milik bagian perusahaan asing KKKS dari hasil diperut bumi kita.
Banyak alasan yang bisa dikemukan oleh Pertamina untuk membungkus seolah olah kebijakan itu sudah benar dan masuk akal, contohnya bahwa kebijakan tersebut adalah lebih ingin membagi resiko potensi kegagalan dan butuh banyak dana segar, bisa jadi karena Pemerintah sering menahan dana subsidi BBM yang sudah mencapai Rp. 50 triliun dengan alasan perlu verifikasi dulu seperti dikemukan oleh Menteri keuangan Sri Mulyani.
Begitu juga alasan yang selalu dikemukan oleh Pemerintah bahwa Pertamina harus bisa menjamin produksinya tidak turun dan biaya perunitnya bisa lebih efisien serta kemampuan keuangan Pertamina dalam mengambil alih 8 blok migas yang akan diterminasi, tentu berbeda dengan sikap Total Indonesia, ingin nya tetap menguasainya sebagai operator, maupun oleh operator lain di 8 blok migas lainnya yang akan terminasi ditahun 2018 dan 2019.
Sudah tentu akibat beda kepentingan ini menjadi peluang bagi mafia sebagai pemburu rente, sehingga Pertamina zaman now dibawah kendali Elia Masa Manik lebih tak berani daripada Pertamina ” Zaman old ” yang lebih berani ambil alih Blok West Madura Offshore dari Kodeco tahun 2011 dari produksi 13.700 B0PD meningkat jadi 20.000 BOPD dan Blok Offshore North West Jawa dari British Petroleum tahun 2009 dari produksi awal 24.100 BOPD meningkat 40.000 BOPD dalam kurun 4 tahun setelah diambil oleh Pertamina zaman old, dan faktanya kedua blok migas tersebut berhasil ditingkatkan produksinya jauh lebih besar dari operator sebelumnya, hebat profesional Pertamina Hulu.
Aneh dan lebih lucunya lagi Pertamina sudah menyatakan tidak ekonomis mengelola blok East Kalimantan dan blok Attaka yang terletak berdampingan dengan blok Mahakam akibat adanya kewajiban ASR (Abadonment Site Restoration) atau biaya pemulihan lapangan paska berhentinya produksi, padahal biaya ini sudah termasuk dalam tanggung jawab operator lama dengan skema ” cost recovery ” , dan paradok.
Pertamina saat ini malah tertarik akan mengelola blok Sonatrach di Aljazair produksinya hanya 20.000 sd 30.000 BOPD, produksinya tidak jauh beda blok East Kalimantan dan blok Attaka di Kalimantan, malah sikap ini dianggap sebuah prestasi seperti dikatakan dengan sangat bangganya pada berbagai media pada tanggal 22 Desember 2017 oleh dirut Pertamina zaman now.
Ibarat kata pepatah ” kambing kurus dinegeri orang dikejar kejar, sapi gemuk dihalaman sendiri disajikan kepada tamu untuk disembelih”.
Sebaliknya perusahaan Petrochina dan Petronas sekarang memburu blok East Kalimantan dan blok Attaka dgn skema ” gross split “.
Jadi tak salah publik menduga ada tangan mafia bekerja dalam menentukan kebijakan direksi Pertamina.
Disisi lain perlu diketahui blok Mahakam adalah blok produksi dengan ribuan lubang sumur, sehingga data-data sumur yang lengkap itu digabungkan dengan data-data seismik telah memberikan gambaran lebih detail bentuk geometri 3 dimensi karakteristik reservoir beserta besaran volume kandungan hidrokarbonnya lebih akurat berupa minyak, gas dan kondensat, sehingga resiko kegagalannya sangat minimal sepanjang tidak ada gangguan struktur akibat teknonik yang bisa menyebabkan kandungan hidrokarbon itu migrasi, dan kawasan Kalimantan sangat relatif aman dari pengaruh teknonik.
Mengingat pengalaman Pertamina mengelola diberbagai blok migas cukup berhasil, kemudian 97 % sumber daya manusia yg selama ini aktif mengembangkan blok Mahakam bersama Total Indonesia sudah berkomitmen bergabung dibawah Pertamina Hulu Mahakam, maka alasan ancaman turunnya produksi setelah dikelola oleh Pertamina adalah alasan yang terlalu prematur alias gagal paham.
Saya sebagai salah satu orang dari banyak orang bersama Marwan Batubara yang menandatangani petisi blok Mahakam pada tahun 2014 harus 100% dikelola Pertamina hanya bisa terkesima menyaksikan Pertamina zaman now.