Topinformasi, | Tidak perlu buang waktu lagi membahas apakah revolusi industri 4.0 memberikan keuntungan atau kerugian buat buruh. Karena apapun jawabannya kesimpulannya sudah jelas, buruh dan serikat buruh (SB) harus beradaptasi secara inovatif agar terhindar dari eliminasi distrupsi Industri 4.0. Seperti apa yang dikatakan Andy Haldane, seorang kepala ekonomi bank Inggris saat diundang bicara pada kongres serikat buruh Inggris,Trades Union Congress (TUC) November 2015. Setiap revolusi industri selalu diawali dengan kekuatiran yang sama, yakni; mesin akan menggantikan tenaga manusia dan melahirkan penggangguran massif. Namun sejarah membuktikan kekuatiran itu tidak pernah terjadi. Bahkan pekerja mengalami peningkatan upah riil 15 sampai 100 kali sejak revolusi terakhir. Dari presentase data grafik yang ditulisnya, nyatalah bahwa ada tiga fakta bentuk fundamental ekonomi pembangunan: (i) Dalam jangka panjang perkembangan teknologi akan terus faktor utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi; (ii) sejak revolusi industri pertama (1770-1830) ke masa sekarang, perkembangan teknologi lebih banyak menciptakan tambahan pekerjaan ketimbang pekerjaan yang dihancurkannya; (iii) transisi ke sistem produksi yang makin kompleks ternyata melahirkan pertumbuhan produktivitas kerja, kenaikan upah dan penurunan tajam jam kerja.
Substitution effect vs compensation (or income) effect.
Ada dua pengaruh yang mempengaruhi bagaimana relasi mesin terhadap buruh, yaitu: efek bahan pengganti (substitution effect) dan efek kompensasi (effect compensation). Selama ini pandangan kaum ekonom murni hanya melihat dimensi efek subsitusi, yaitu terjadinya subsitusi tenaga kerja oleh tenaga mesin. Ini adalah pandangan yang salah, karena cara pandang parsial ini hanya mengemukakan faktor negatifnya, tetapi tidak melihat efek positif lain yang disebut “compensation effect”. Sebagai akibat efesiensi, harga barang dan jasa semakin murah; terjadi peningkatan pendapatan secara umum; mendorong kenaikan permintaan untuk barang dan jasa baru dan munculnya Industri baru untuk memenuhi permintaan. Hilangnya pekerjaan sebelumnya akan dikompensasi dengan lahirnya pekerjaan baru yang nantinya menurunkan penggangguran. Selain akibat efek kompensasi di atas, revolusi industri 4.0 melahirkan sektor baru yang tumbuh membesar, disebut “the third sector”. Sektor ini bukan publik atau swasta, tapi sebuah lembaga semacam lembaga karitas, sukarelawan, nirlaba, masyarakat sipil. Jenis kerja “voluntarism”ini bertumbuh di luar format hubungan kerja buruh dan majikan. Ini ditulis dalam laporan riset Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2016 yang berjudul “The future of jobs”.
Riset WEF membenarkan akan adanya gangguan atas pekerjaan akibat revolusi 4.0, tetapi efeknya tidak seragam, tapi bervariasi sesuai jenis Industri, daerah dan negara. Revolusi Industri 4.0 menyumbang pengembangan di bidang genetik, kecerdasan buatan, robotik, percetakan tiga dimensi, bioteknologi dan lainnya. Semua ini akan menjadi pondasi untuk sebuah revolusi yang lebih konprehensif melebihi apa yang kita lihat sebelumnya.
Inovasi Dan Adaptasi Serikat Buruh dengan optimisme akan munculnya pekerjaan baru yang lebih banyak dan lebih manusiawi (bisa bekerja dari rumah, bisa mendapat pendapatan ganda dari beberapa aktifitas), tindakan pro aktif adaptasi menjadi keharusan untuk terhindar dari ancaman kepunahan. Sekalipun tidak banyak dibahas, revolusi 4.0 tidak hanya mengancam pekerjaan, tetapi juga masa depan banyak lembaga yang berpotensi terancam punah. Khususnya organisasi yang memiliki misi merepresentasi aspirasi masyarakat. Mengingat sistem teknologi saat ini bisa lebih cepat dan akurat menyampaikan aspirasi ke pihak-pihak pemegang kepuasan atau pemimpin perusahaan. Misalnya, seorang rakyat bisa lebih cepat berkomunikasi dengan Presiden Jokowi melalui beberapa media sosial milik presiden, ketimbang melalui jalur formal partai politk atau surat menyurat organisasi. Seorang buruh tidak perlu melapor ke serikat buruh dalam mengadukan masalahnya, karena mereka bisa menggunakan jalur media sosial dengan langsung menghubungi media sosial milik pegawai pengawas Depnaker; mengadukan langsung ke instagram Presiden; melapor ke lembaga Ombudsman atau lembaga perlindungan konsumen, mengontak langsung pemilik perusahaan. Serikat buruh tidak bisa eksis dengan hanya melakonkan peran konvensional. Adaptasi, inovasi dan berpikir “out the box” menjadi sebuah keharusan.
Distrupsi pekerjaan yang ditandai dengan membesarnya pekerja tanpa majikan atau yang disebut “sharing-economy”, akan menjadi ancaman serius buat serikat buruh dalam mempertahankan anggota. Jenis pekerjaan seperti pekerja gojek, pekerja bisnis on-line, bisnis bagi hasil, dan pekerja mandiri, selanjutnya akan terus membesar tanpa kebutuhan berserikat. Jenis pekerjaan ini beda dengan pekerjaan konvensional, mereka tidak memerlukan hubungan kerja bipartit, karakter kerja individual, jauh dari konflik hubungan industrial. Sehingga tidak memerlukan advokasi, perundingan bipartit, pengadilan hubungan industrial, tuntutan upah minimum. Perubahan format gerakan buruh menjadi keniscayaan, atau dihukum menjalani kepunahan.
Selama ini pemasok anggota ke serikat buruh secara tradisional adalah pekerja industri manufaktur, diikuti sektor transportasi dan pertanian. Sementara sektor paling minim bergabung dengan SB adalah sektor jasa, khususnya pekerja mandiri. Data statistik pemerintah mengkonfirmasi fakta ini. Sesuai data BPS jumlah pekerja di sektor jasa tahun 2015 masih berjumlah 60.495.406 orang, bertumbuh menjadi 69.319.636 pada Oktober 2018. Terjadi kenaikan hampir 10 juta orang dalam tempo empat tahun. Sementara penyerapan pekerja di sektor lainnya terus menurun.
Transformasi gerakan untuk serikat buruh dilakukan dengan merubah pendekatan advokasi ke pendekatan manfaat. Tidak berarti aktifitas advokasi ditinggalkan, tapi tidak lagi menjadi inti utama pergerakan. Mengapa demikian? Karena buruh tidak hanya membutuhkan pembelaan atau advokasi, tetapi yang lebih penting mendapat kepastian kerja. Kepastian kerja ini bisa diperoleh dengan menaikkan kompetensi buruh. Memberikan manfaat yang beragam dengan dampak keberlanjutan pekerjaan jangka panjang adalah solusi untuk membuat serikat buruh terus diminati. Misalnya dengan terlibat dalam aktfitas vokasi pelatihan kerja untuk peningkatan kompetensi dan keahlian (up-grading and up-skilling). Ketimbang terus menuntut pemerintah memberikan pelatihan, sebaiknya sambil menanti, tidak salah berinisiatif. Beberapa serikat buruh di negara lain sudah mulai melakukannya, termasuk serikat buruh Federation Korea of Trade Union (FKTU) yang baru-baru ini penulis kunjungi. FKTU memberikan bea siswa pelatihan untuk anggota yang membutuhkan pelatihan penyesuaian keahlian.
Agar ideal, pemerintah akan berfokus pada pendidikan STEM
(science, technology, engineering and mathematics), dan menambah jaminan sosial dalam tunjangan pengangguran (un-employment scheme); pebisnis diharuskan bekerjasama dengan berbagai sekolah kejuruan, supaya isu “miss-match” pendidikan dan pasar kerja tidak terus terjadi. Kemudian serikat buruh ikut terlibat dalam memberikan vokasi kepada anggotanya. Termasuk melakukan kerjasama dengan serikat buruh international untuk memasok pekerja ke negara yang membutuhkan keahlian mereka. Negara Jepang saat ini misalnya memerlukan pekerja migran dari Indonesia untuk bekerja di sektor formal, tetapi tidak bisa dipenuhi karena tidak memiliki kwalifikasi. Padahal kwalifikasi standar hanya menguasai bahasa jepang yang bisa dilelajari dalam masa enam bulan.
Kesimpulan
Revolusi teknologi saat ini tidak perlu ditenggarai sebagai perlombaan antara manusia dan mesin, tetapi sebagai kesempatan bagi pekerja untuk mengembangkan potensinya secara penuh dengan bantuan teknologi.