TOPINFORMASI .COM,Setelah bertahun tahun berlalu kasus dugaan korupsi sistemik berbau kredit macet sebesar Rp 39,5 miliar di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan, kembali disorot. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara diduga melakukan disparitas hukum dengan menerapkan standar ganda dalam menangani kasus kejahatan perbankan tersebut.
"Kejati Sumut patut kami duga telah menerapkan standar ganda dalam menangani kasus kredit modal kerja – kredit yasa griya (KMK-KYG) PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) di PT Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan. Ada disparitas dalam penanganannya,” ucap Muhri Fauzi Hafiz Wakil Ketua PSI Sumut.
Kamis//6-7-2023
Untuk mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi yang transparan, Muhri berharap penyidik Kejatisu sebaiknya segera mempercepat pelimpahan perkara 4 tersangka dari BTN ke pengadilan.
“Berdasarkan penelusuran, ada ditemukan dugaan manipulasi data pada proses pencairan kredit dari BTN ke PT KAYA yang merupakan salah satu modus kejahatan perbankan. Tabir kejahatan perbankan ini harus dibongkar sampai tuntas ke akar-akarnya. Karena itulah kita minta Kejatisu tidak memelihara status tersangka 4 pejabat BTN. Demi keadilan, limpahkan segera kasusnya ke pengadilan, bukan digantung gantung atau dibiarkan tanpa adanya kepastian hukum,” ujarnya.
Sekedar diketahui, pencairan kredit Rp 39,5 miliar dari BTN Cabang Medan kepada PT KAYA berdasarkan perikatan kredit sesuai akta Nomor 158 tanggal 27 Februari 2014 yang dibuat Notaris Elviera SH MKn, dengan mencantumkan agunan 93 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT Agung Cemara Realty (ACR). Dari total agunan itu, sebanyak 79 SHGB di antaranya masih terikat hak tanggungan (masih diagunkan) di Bank Sumut Cabang Tembung dan belum lunas.
“Yang mengajukan kredit ke BTN adalah PT KAYA, namun memakai agunan atas nama PT ACR. Anehnya, agunan SHGB yang digunakan PT KAYA dalam pengajuan kredit ke BTN itu, masih menjadi agunan di PT Bank Sumut. Inikan penuh kejanggalan,” papar Muhri.
Kejanggalan lainnya, sebut Muhri, proses peradilan yang berjalan hanya menghadirkan Notaris Elviera, Dirut PT KAYA Canakya Suman dan Dirut PT ACR Mujianto sebagai terdakwa. Mereka pun sudah divonis oleh pengadilan.
“Mengapa pihak-pihak berwenang di BTN Kantor Cabang Medan justru belum diseret ke pengadilan?? Padahal mereka sudah lama ditetapkan sebagai tersangka. Kami menggarisbawahi ini sebagai sebuah kejanggalan,” tegasnya.
Kasus dugaan kejahatan perbankan ini, sebut Muhri terjadi karena adanya kesepakatan debitur dengan kreditur. Dan sangat jelas bahwa korupsi tidak bisa dilakukan oleh sebelah pihak saja.
"Dalam persidangan lalu, Notaris Elviera menyatakan bahwa sebelum dibuat akta perjanjian kredit, terlebih dahulu sudah ada kesepakatan antara Direktur PT KAYA Canakya Suman dengan pihak BTN. Anehnya, kasus 4 pejabat BTN ini malah tidak kunjung dilimpahkan kasusnya. Ada apa ini?. Apa ada?" tuturnya.
Karena itu, ujar Muhri sudah seharusnyalah unsur pimpinan di BTN Kantor Cabang Medan, termasuk pejabat analis perkreditan, lebih dulu diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan secara hukum.
Sejauh ini Kejatisu hanya menggelandang Notaris Elviera,(di vonis 1.8 tahun) Mujianto(di vonis 9 tahun) dan Canakya Suman (di vonis 3 tahun)ke persidangan. Seolah olah hanya mereka saja yang terjerat kasus kejahatan perbankan ini. Padahal, sudah jelas ada keterlibatan Pimpinan Cabang (Pincab) BTN Medan
1.Ferry Sonefille,
Wakil Pincab
2.Agus Fajariyanto, pejabat kredit R Dewo Pratoloadji dan analis kredit Aditya Nugroho.
“Sekarang dimana mereka?. Mengapa mereka belum diseret ke pengadilan?” ucap" Muhri bertanya.
Demi terciptanya transparansi dan mengungkap tabir kejahatan perbankan, Muhri mendesak Kejatisu menghadirkan 4 pejabat BTN yang sudah lama ditetapkan sebagai tersangka pada persidangan di pengadilan.
"Limpahkan kasusnya ke pengadilan. Tidak elok disimpan simpan, nanti bisa basi dan busuk," tukasnya seraya menyebut azas equality before the law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum.